Senin, 05 Mei 2014

Aroma Pembantaian Alam Barzah

Pagi itu Samantha masih tertegun di meja tulis usangnya. Ia tak pernah tau apa yang harus Ia lakukan kecuali menulis dan berharap mimpinya akan terlaksana. Pagi yang menjenuhkan. Namun Samantha telah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Gadis malang itu tak pernah menyangka hidupnya akan berjalan setragis ini. Seperti biasa, pagi itu Ia harus bersabar menunggu nenek yang biasa memberinya makan datang. Berkali kali Ia melirik ke arah pintu, berharap yang di tungggu cepat menampakan dirinya. Maklumlah, kegelisahannya semalam menghabiskan separuh tenaganya. Samantha merasa sangat lapar.
“Kreeekkk…” terdengar suara pintu terbuka. Samantha segera menoleh ke arah pintu. Dilihatnya sang nenek yang ditunggunya sejak tadi berjalan menghampiri dengan senyum khas yang selalu terukir di wajahnya. Samantha menyambutnya dengan senyuman tipis, sangat tipis. Namun cukup membuat Samantha terlihat manis.

“Selamat pagi, Samantha..” sapa nenek itu.
“Pagi juga nek!” ujar Samantha dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Kau lapar, Nak?” tanya si nenek sembari menyerahkan makanan dan minuman pada Samantha.
Samantha hanya mengangguk tipis sembari mengambil makananya. Nenek hanya tersenyum memandangi gadis di depannya yang tengah makan dengan lahapnya. Nenek tak berani membuka percakapan, khawatir akan merusak selera makan gadis itu.
“Sudah kenyang, sayang?” tanya sang nenek ketika melihat makanan Samantha sudah tak bersisa. Samantha mengangguk pelan, Ia tersenyum tipis seakan akan mengucapkan terimakasih kepada sang nenek.
“Nek, maukah kau menceritakan kisah para bidadari padaku?” pinta Samantha manja.
“tentu sayang, kau suka kisah para bidadari Samantha?” tanya nenek itu.
Samantha hanya mengangguk pelan sembari menunjukan senyumnya yang manis.
“baiklah. Tapi sepertinya nenek tidak perlu menceritakan panjang lebar tentang bidadari itu. Karena bidadari yang kau maksud itu sudah ada di depan nenek, yaitu kamu nak!”
“kenapa nenek menyebutku bidadari?” tanya Samantha heran.
“Karena kamu cantik, nak! Hatimu lembut. Kamu anak yang baik.” Ucap nenek itu.
“Kenapa nenek bilang aku anak baik? Aku kan pembunuh nek, aku pendendam!” ucap Samantha setengah berteriak.
“Lihatlah ke dalam hati terdalammu nak, bukan pada masa lalumu. Pandanglah jauh ke depan tentang hidupmu. Nenek yakin kau kan temukan kebahagiaanmu sendiri!” ucap sang nenek lembut.
Samantha tertegun, Ia merasa terharu mendengar ucapan nenek itu. Namun ternyata ucapan sang nenek belum mampu menguggah hatinya untuk menghilangkan dendam yang terlanjur membakar separuh hidupnya. Ia sadar betul apa yang Ia lakukan tidak akan membuahkan kebahagiaan padanya. Tapi yang Ia yakini, membalas dendam akan membuatnya puas.
Brak!! Terdengar suara pintu di buka dengan paksa. Ternyata dua orang yang biasa mengantarkan nenek ke tempatnya. Samantha tertunduk lesu, itu artinya pertemuannya dengan nenek pada hari itu berakhir.
“Tinggalkan tempat ini, nek!” ucap salah seorang laki laki itu.
“baiklah Samantha, waktu kita telah habis. Kita lanjutkan lagi nanti.” Ucap nenek itu sembari berlalu meninggalkan Samantha yang masih tertunduk lesu. Samantha hanya mengangguk pendek.
Seperti biasa, sepi menemani hari harinya. Tak banyak yang bisa Ia lakukan di tempat itu kecuali diam, merenung, berkhayal dan menuliskan kata di lembar lembar diarynya. Sang nenek itulah yang tak pernah absen membelikan alat tulis dan kebutuhan Samantha lainya. Sedikitnya, Samantha merasakan kembali kasih sayang dari nenek itu. Dan kini nenek itu sudah tidak ada di sampingnya.
Hari masih siang, mengharapkan kedatangan Dea pun percuma. Karena biasanya, Dea menemuinya selepas magrib dan pergi menjelang tengah malam. Dan akhirnya dia memutuskan untuk memutar kenangan indah bersama kedua orangtuanya. Samantha sudah terlalu lelah meratapi nasib hidupnya yang naas itu. Samantha sudah lelah memikirkan dendam dendamnya yang tak pernah terbalaskan.
Waktu demi waktu pun berlalu, tak terasa waktu sudah menjelang magrib.
“Sepertinya sebentar lagi Dea datang.” Gumam Samantha dalam hati. Akhirnya Ia putuskan menunggu Dea di tempat biasa ia muncul. Dan benar saja tak lama kemudian Dea muncul kembali.
“Kau menungguku, Samantha?” sapa Dea ketika melihat Samantha terdiam di tempat biasa ia muncul.
Samantha mengangguk mantap tanpa berbicara sepatah kata pun. Namun sorot matanya mampu merobek siapapun yang menatapnya. Matanya berapi api seakan mengisyaratkan bahwa Dea harus memenuhi janjinya malam itu juga. Ya! Dea harus membantu membalaskan dendamnya. Dea paham apa yang Samantha maksud, namun dia lebih memilih bersikap dingin dan bersikap seolah olah tidak pernah ingin mengabulkan permintaan Samantha.
“Sepertinya kau harus belajar lebih banyak, Samantha!” Ucap Dea kemudian.
“Apa maksudmu? Tanya Samantha sinis.
“Kau akan mengerti setelah kau merasakanya. Sayang sekali jika kisahmu berakhir duka Samantha! Kau terlahir bahagia, kenapa tidak kau jadikan hidupmu lebih bahagia Samantha?” ucap Dea sambil mondar mandir mengelilingi Samantha yang tertegun kebingungan.
“Kebahagiaanku ketika dendamku terlampiaskan!” ucap Samantha tegas.
“Tapi kau tak berhak egois Samantha!” ucap Dea sedikit membentak.
“Kau tak pernah mengerti apa yang aku rasakan Dea!” ujar Samantha.
“Aku tahu. Baiklah jika itu maumu..!” ucap Samantha santai.
“Kau benar benar akan mengabulkan pintaku, Dea?” semangat sekali Samantha berujar.
Dea hanya tersenyum tipis. Begitu pula Samantha. Kini keduanya sama sama tenggelam dalam fikirannya masing masing.
Samantha mulai sibuk menyusun taktik pembunuhan yang akan dia lakukan. Sementara Dea berfikir bahwa Samantha benar benar harus ia miliki, apapun yang terjadi ia ingin Samantha menjadi bagian dari hidupnya. Samantha gadis yang menarik. Ia bisa menjadi seorang ibu yang penuh kasih sayang dan tegas andainya Ia tak mengalami nasib tragis itu. Yah! Tapi apa mau dikata, takdir berkata lain. Dan ia harus sukarela menjalani peran ini dalam episode hidupnya.
“Dea, aku ingin kau temani aku disini. Kau tahu aku sangat kesepian disini. Aku merindukan kasih sayang, aku butuh teman agar aku bisa melampiaskan semua isi hatiku. Aku masih sangat muda untuk menanggung derita ini. Kau mau Dea?” akhirnya Samantha memecah keheningan yang tercipta beberapa waktu terakhir.
“Kau bisa memanggilku kapan kau butuh Samantha. Panggilah namaku sampai aku datang padamu. Tapi sekarang aku harus pergi Samantha. Istirahatlah! Aku tahu kau amat lelah dengan semua ini” ujar Dea sembari beranjak meninggalkan Samantha.
Samantha tak berkomentar apapun, ia membiarkan Dea menjauh hingga akhirnya hilang di balik pintu. Samantha berharap Dea bisa membantunya. Karena menurutnya Dea lah satu satunya makhluk ajaib yang pernah singgah di hidupnya. Dan Ia yakin Dea akan banyak membantu melampiaskan dendamnya.
Pagi itu seperti biasa Samantha menulis diary nya, ia menceritakan segala keluh kesahnya pada buku usang itu. Ya! Semenjak Ia tinggal di penjara bawah tanah itu ia jadi hobi menulis.
Seperti biasa pula pagi itu ia menunggu nenek memberinya makan. Jam demi jam berlalu, namun ternyata yang ditunggu tak datang juga. Samantha mulai merasa resah.
“Kreeekkk…” Terdengar suara pintu terbuka. Samantha refleks ke arah pintu ia berharap melihat sang nenek tersenyum padanya dan memberinya makanan seperti biasa. Namun ternyata yang muncul di balik pintu bukanlah orang yang ia tunggu melainkan dua orang laki laki yang biasa mengantar nenek menemuinya. Samantha kecewa bukan main, akhirnya ia kembali terduduk lemas di pojok ruangan itu dan membiarkan mereka mendekatinya.
“Mana nenek?” tanya Samantha ketika kedua laki laki itu sudah sangat dekat dengannya.
“Lu lapar bocah kecil, nih ambil!” ujar salah seorang laki laki itu sambil melemparkan makanan ke arah Samantha.
“Mana nenek?” tanya Samantha lagi dengan nada setengah membentak.
“Lu mau kita angkut mayatnya kesini hah?” ujar salah seorang dari mereka dengan nada setengah membentak.
“Maksud kalian apa?” kata kata Samantha mulai bergetar.
“Dia udah mati!” ucap laki laki itu sambil berlalu meninggalkan Samantha yang terkaget kaget.
“Apa? Mati? Tidak… Nenekkk…!!!” Samantha berteriak teriak seperti orang kesetanan. Ia tak percaya akan secepat itu nenek meninggalkanya. Samantha menangis tersedu sedu di pojok ruangan itu. Ia merasa hidupnya semakin tidak berarti, ia merasa dirinya semakin malang.
“Dea… datanglah Dea..!! aku butuh kamu! Ayolah Dea…” Samantha berteriak teriak berharap Dea segera datang ke tempatnya.
“Aku disini Samantha…” tak lama kemudian Dea berada di tempat biasa ia muncul.
Samantha refleks menoleh ke belakang.
“Dea, ternyata kau datang. Ternyata kau tidak bohong!” ucap Samantha sambil menghambur ke pelukan Dea.
“Sudah diamlah Samantha! Kau tak perlu banyak menangis!” ucap Dea setengah membentak.
“Apa? Kau jahat Dea!! Kau tak pernah mau mengerti apa yang aku rasakan. Nenek meninggal Dea, dan aku akan semakin kesepian!” ucap Samantha terbata bata.
“Diam Samantha! Ku bilang kau tak usah banyak menangis. Kau tahu hidupmu sangat terasisa di tempat ini. Lantas, kenapa kau diam saja? Kenapa kau tak mencari cara untuk keluar dari tempat ini. Hey! Harusnya kau bisa jadi anak yang cerdas.” ujar Dea sinis.
Samantha terdiam beberapa saat, ia merenungi kata kata yang keluar dari mulut Dea. “Benar juga!” fikirnya, sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh tubuh berharap ada celah yang bisa ia lalui untuk keluar dari tempat itu.
“Dea, kau bisa membantuku keluar dari sini?” Ucap Samantha kemudian.
“Oke! tapi kau lakukan atas usahamu sendiri.” Ucap Dea santai.
“Kau mau beri tahu cara agar aku bisa keluar dari sini, Dea?” tanya Samantha.
Dea menggeleng. Samantha terbelalak kaget melihat tingkah laku Dea. Ia benar benar merasa dipermainkan saat itu.
“Apa kau bilang, Dea? Lantas apa gunanya kau disini? Membantuku keluar saja kau tak mau!” Samantha benar benar memaki Dea saat itu.
“Samantha, lalu apa gunanya akal tumpul mu itu! Untuk keluar dari sini saja kau tak mampu apalagi untuk membalaskan dendammu pada mereka! Pernahkah kau berfikir sejauh itu Samantha?” ujar Dea sembari berlalu meninggalkan Samantha.
Samantha tertegun beberapa saat, dan tangisnya pun meledak kembali.
“Bodoh!! Bodoh!! Aku memang bodoh!!” Samantha memaki dirinya sendiri dalam tangisnya. Ia merasa benar benar tak berguna saat itu. Rasanya ia ingin mengakhiri hidupnya sampai disini saja.
Malam itu Samantha memutuskan untuk mencari cara agar bisa kabur. Ia sudah sangat lelah mendekam di penjara bawah tanah itu. Samantha mulai sibuk memperhatikan setiap detail ruangan, berharap ada celah yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri. Perlahan lahan Samantha mendekati daun pintu, ia berusaha mendobraknya. Namun sayang, tubuh kurusnya tak cukup kuat untuk melakukan itu. Sepertinya bukan solusi yang baik. Kali ini Samantha enggan berputus asa, ia kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah. Samantha tersenyum puas ketika menatap satu satunya jendela yang ada di ruangan itu, ia berharap bisa merusaknya. Samantha mulai mendekati jendela itu, tapi Samantha lupa jendela itu di lapisi teralis besi. Samantha tak mampu merusaknya. Samantha sangat kecewa, ia terus menerus mengutuki kebodohannya sendiri.
“Benar kata Dea, untuk keluar dari sini saja kau tak bisa, lantas bagaimana aku melampiaskan dendam pada mereka?” Keluh Samantha dalam hati. Air matanya kembali berlinangan ia merasa sangat hilang arah. Ia tak menemukan satu pun cara agar ia bisa keluar dari tempat itu.
“Oh Tuhan… Aku harus bagaimana lagi? Tolong Tuhan… Tolong aku… Dea, apa kau masih mau membantuku? Ayolah Dea… bantu aku keluar dari sini…” rintih Samantha dalam tangisnya.
Samantha tak henti hentinya memperhatikan seluruh detail ruangan itu, hingga matanya tertuju pada meja tua yang mulai rusak. Samantha tersenyum senang, perlahan namun pasti ia mendekati meja itu. Ia memperhatikan setiap detailnya, Samantha tersenyum puas ketika melihat salah satu bagian meja itu masih tertancap beberapa paku.
“Apa aku habisi saja si penjaga itu?” fikir Samantha dalam hati.
“Harus ku lakukan, atau aku mati konyol di ruangan ini!!” ucap Samantha bersemangat. Samantha mulai memikirkan taktik untuk bisa merealisasikan rencananya.
“Kalau nenek sudah tidak ada, berarti pria itulah yang akan mengantarkan makanan untukku. Aku harus bisa memukulnya sesaat setelah ia membuka pintu” Gumam Samantha. Dan ia tersenyum puas. Setelah memastikan tidak ada yang harus ia lakukan lagi malam itu, ia memutuskan untuk beristirahat sebelum melakukan aksinya esok hari.
Killery street, 28 Oktober 2012
Dear diary…
Aku akan membunuh lagi. Sama seperti aku membunuh satu bajingan itu beberapa tahun yang lalu. Kau ingat betapa jahatnya aku, bukan? Dan aku akan mengulangnya kembali. Aku harap semuanya akan baik baik saja.
Samantha,
Pagi ini adalah pagi yang di tunggu tunggu oleh Samantha. Ia sudah tak sabar melancarkan aksinnya untuk segera keluar dari tempatnya. Usai menulis diary, Samantha bergegas memasukan barang barang pribadinya ke dalam tas usang yang pernah di berikan nenek beberapa waktu yang lalu. Ia sudah merencanakan segala sesuatunya dengan maksimal.
“Oke! Selamat menjemput ajalmu!” ujar Samantha berapi api. Setelah di rasa siap, ia bergegas ke arah pintu. Berharap yang di tunggu segera datang, agar ia bisa segera menghabisinya.
Tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekati pintu.
“Sepertinya orang itu sudah bersiap kesini.” Gumam Samantha dalam hati. Ia tersenyum puas, ia mulai bersiap mengangkat baloknya tinggi tinggi di depan pintu.
Dan, “Brakkk…!!” Ketika pria incaranya masuk, Samantha langsung menghantam kepala pria itu. Dan berhasil! Pukulanya yang lumayan keras membuat si penjaga bersimbah darah dan hampir tak sadarkan diri. Tanpa fikir panjang, Samantha langsung melemparkan balok kayunya dan segera melarikan diri. Samantha menyusuri lorong kecil di setiap ruangan, berharap menemukan pintu keluar agar ia bisa segera meninggalkan tempat itu.
“Hai anak manis, mau kemana kau?” terdengar suara seseorang dari belakangnya. Samantha refleks menoleh ke belakang. Samantha lupa ada dua orang yang menjaganya di penjara bawah tanah itu, dan ia sadar hanya melukai salah satunya saja. Dada Samantha bergemuruh kuat, ia mundur beberapa langkah hingga tak sengaja tubuhnya menyentuh tombol rahasia untuk membuka pintu. Samantha tersenyum, ketika menyadari dirinya berhasil menemukan jalan keluar. Tanpa fikir panjang, Samantha segera berlari keluar. Samantha terus berlari menyusuri hutan yang masih sangat asing baginya, ia berharap bisa menemukan pemukiman penduduk agar bisa menyelamatkan diri.
“Hai bocah kecil! Jangan harap kau bisa lepas dariku!!” Ujar si penjaga seraya bergegas mengejar Samantha yang telah terlebih dahulu berlari. Samantha tak menghiraukan gertakan si penjaga, dia terus berlari dan berlari sekuat ia bisa.
“Brukkk…” kaki Samantha tersandung batang kayu, hingga tubuhnya terhempas ke tanah. Samantha merasa kesakitan, kakinya sedikit terkilir. Samantha panik, ia kesulitan untuk berdiri. Sementara sang penjaga sudah berada dekat darinya.
“Hahaha!! Anak bodoh!” teriak sang penjaga sembari tertawa terbahak bahak.
“Apa mau mu!! Lepaskan aku!” Ujar Samantha sedikit menggertak.
”Kau fikir akan semudah itu aku melepaskanmu, hah!” Gertak sang penjaga.
“Ayolah, tolong lepaskan aku!! Tolong lepaskan aku!!” kali ini Samantha memohon mohon sembari meneteskan beberapa butir air mata. Ia merasa sudah tidak akan selamat lagi, terlebih setelah melihat sang penjaga semakin dekat dengannya.
“Pulanglah dengan sukarela anak manis, sebelum aku benar benar melukaimu!” Ujar pria penjaga itu dengan nada mengancam.
Samantha menggeleng sembari mundur beberapa langkah, berusaha menjauhkan dirinya dari pria itu. Dan tanpa sengaja tangannya menyentuh batang kayu, Samantha tersenyum penuh kemenangan. Ia mengingat kejadian yang baru saja ia alami. “Semoga aku bisa melakukan hal yang sama dengan balok kayu ini.” Gumam Samantha dalam hati.
“Kemarilah kalau kau bisa!” Ujar Samantha dengan nada sedikit menantang.
Pria itu semakin naik darah melihat sikap Samantha yang menurutnya semakin berani dan kurang ajar, pria itu segera mendekatinya.
Samantha bersiap. Dan ketika jaraknya dirasa cukup dekat, Samantha segera memukulkan balok kayu yang di pegangnya tepat di kepala pria itu.
“Argghhh… Anak sialannn!!!” pria itu menjerit sembari menahan sakit. Sementara Samantha mulai mengumpulkan sisa tenaganya, ia segera bangkit dan menjauh, berharap pria itu berhenti mengejarnya. Namun ternyata dugaan Samantha salah, pria itu masih bisa bangkit dan mengejarnya.
Samantha panik, ia berusaha berlari lebih kencang lagi. Dan sial! Samantha menemui jalan buntu.
“Hahahaha…! mau pergi kemana kau anak manis?” ujar sang pria dengan wajah berseri seri.
Perlahan ia melangkah mendekati Samantha yang sudah sangat ketakutan.
“Kembalilah kesini anak manis!” ujar sang pria itu lagi sembari terus mendekati Samantha.
“Tidak… tidak… tolong lepaskan aku. Tolong biarkan aku bebas… tolong aku” pinta Samantha sembari mundur beberapa langkah. Namun pria itu enggan mendengarkan ucapan Samantha. Membuat Samantha semakin ketakutan, ia terus mundur beberapa langkah hingga kakinya menyentuh bibir jurang.
“Ahhh tidakkk…!!!” Samantha berteriak ketika menyadari kakinya tergelincir. Samantha berusaha menyeimbangkan tubuhnya, namun percuma. Tubuhnya terhempas beberapa kali menghantam bebatuan yang keras, dan terperosok sangat dalam ke jurang itu. Samantha pasrah.
Sementara pria yang mengejarnya terkejut melihat kejadian itu, ia segera menepi ke bibir jurang dan dilihatnya tubuh Samantha sudah berada di bagian paling bawah dengan tubuh terkoyak dan berlumuran darah.
“Ahh sial, mati tuh bocah!! Pasti dimarahin bos!” Ujar pria itu setengah menggerutu, dan ia segera berlalu meninggalkan Samantha.
“Ohh Tuhan, tolong aku!” Rintih Samantha. Ia merasakan seluruh tubuhnya bagai dihujam ribuan belati. Samantha berusaha bangkit, namun sia sia. Darah segar tak henti keluar dari kepala dan hidungnya, ia merasa sangat kesakitan.
“Dea, tolong bantu aku. Tolong selamatkan aku, sakit dan sesak sekali rasanya.. tolong” rintihnya lagi. Samantha merasa pandangannya mulai kabur, nafasnya semakin berat, dan detak jantungnya mulai melemah, sebelum semuanya menjadi gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar