Pagi itu Samantha masih tertegun di meja tulis usangnya. Ia tak
pernah tau apa yang harus Ia lakukan kecuali menulis dan berharap
mimpinya akan terlaksana. Pagi yang menjenuhkan. Namun Samantha telah
terbiasa dengan kondisi seperti itu. Gadis malang itu tak pernah
menyangka hidupnya akan berjalan setragis ini. Seperti biasa, pagi itu
Ia harus bersabar menunggu nenek yang biasa memberinya makan datang.
Berkali kali Ia melirik ke arah pintu, berharap yang di tungggu cepat
menampakan dirinya. Maklumlah, kegelisahannya semalam menghabiskan
separuh tenaganya. Samantha merasa sangat lapar.
“Kreeekkk…” terdengar suara pintu terbuka. Samantha segera menoleh ke
arah pintu. Dilihatnya sang nenek yang ditunggunya sejak tadi berjalan
menghampiri dengan senyum khas yang selalu terukir di wajahnya. Samantha
menyambutnya dengan senyuman tipis, sangat tipis. Namun cukup membuat
Samantha terlihat manis.
“Selamat pagi, Samantha..” sapa nenek itu.
“Pagi juga nek!” ujar Samantha dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Kau lapar, Nak?” tanya si nenek sembari menyerahkan makanan dan minuman pada Samantha.
Samantha hanya mengangguk tipis sembari mengambil makananya. Nenek hanya
tersenyum memandangi gadis di depannya yang tengah makan dengan
lahapnya. Nenek tak berani membuka percakapan, khawatir akan merusak
selera makan gadis itu.
“Sudah kenyang, sayang?” tanya sang nenek ketika melihat makanan
Samantha sudah tak bersisa. Samantha mengangguk pelan, Ia tersenyum
tipis seakan akan mengucapkan terimakasih kepada sang nenek.
“Nek, maukah kau menceritakan kisah para bidadari padaku?” pinta Samantha manja.
“tentu sayang, kau suka kisah para bidadari Samantha?” tanya nenek itu.
Samantha hanya mengangguk pelan sembari menunjukan senyumnya yang manis.
“baiklah. Tapi sepertinya nenek tidak perlu menceritakan panjang lebar
tentang bidadari itu. Karena bidadari yang kau maksud itu sudah ada di
depan nenek, yaitu kamu nak!”
“kenapa nenek menyebutku bidadari?” tanya Samantha heran.
“Karena kamu cantik, nak! Hatimu lembut. Kamu anak yang baik.” Ucap nenek itu.
“Kenapa nenek bilang aku anak baik? Aku kan pembunuh nek, aku pendendam!” ucap Samantha setengah berteriak.
“Lihatlah ke dalam hati terdalammu nak, bukan pada masa lalumu.
Pandanglah jauh ke depan tentang hidupmu. Nenek yakin kau kan temukan
kebahagiaanmu sendiri!” ucap sang nenek lembut.
Samantha tertegun, Ia merasa terharu mendengar ucapan nenek itu. Namun
ternyata ucapan sang nenek belum mampu menguggah hatinya untuk
menghilangkan dendam yang terlanjur membakar separuh hidupnya. Ia sadar
betul apa yang Ia lakukan tidak akan membuahkan kebahagiaan padanya.
Tapi yang Ia yakini, membalas dendam akan membuatnya puas.
Brak!! Terdengar suara pintu di buka dengan paksa. Ternyata dua orang
yang biasa mengantarkan nenek ke tempatnya. Samantha tertunduk lesu,
itu artinya pertemuannya dengan nenek pada hari itu berakhir.
“Tinggalkan tempat ini, nek!” ucap salah seorang laki laki itu.
“baiklah Samantha, waktu kita telah habis. Kita lanjutkan lagi nanti.”
Ucap nenek itu sembari berlalu meninggalkan Samantha yang masih
tertunduk lesu. Samantha hanya mengangguk pendek.
Seperti biasa, sepi menemani hari harinya. Tak banyak yang bisa Ia
lakukan di tempat itu kecuali diam, merenung, berkhayal dan menuliskan
kata di lembar lembar diarynya. Sang nenek itulah yang tak pernah absen
membelikan alat tulis dan kebutuhan Samantha lainya. Sedikitnya,
Samantha merasakan kembali kasih sayang dari nenek itu. Dan kini nenek
itu sudah tidak ada di sampingnya.
Hari masih siang, mengharapkan kedatangan Dea pun percuma. Karena
biasanya, Dea menemuinya selepas magrib dan pergi menjelang tengah
malam. Dan akhirnya dia memutuskan untuk memutar kenangan indah bersama
kedua orangtuanya. Samantha sudah terlalu lelah meratapi nasib hidupnya
yang naas itu. Samantha sudah lelah memikirkan dendam dendamnya yang tak
pernah terbalaskan.
Waktu demi waktu pun berlalu, tak terasa waktu sudah menjelang magrib.
“Sepertinya sebentar lagi Dea datang.” Gumam Samantha dalam hati.
Akhirnya Ia putuskan menunggu Dea di tempat biasa ia muncul. Dan benar
saja tak lama kemudian Dea muncul kembali.
“Kau menungguku, Samantha?” sapa Dea ketika melihat Samantha terdiam di tempat biasa ia muncul.
Samantha mengangguk mantap tanpa berbicara sepatah kata pun. Namun sorot
matanya mampu merobek siapapun yang menatapnya. Matanya berapi api
seakan mengisyaratkan bahwa Dea harus memenuhi janjinya malam itu juga.
Ya! Dea harus membantu membalaskan dendamnya. Dea paham apa yang
Samantha maksud, namun dia lebih memilih bersikap dingin dan bersikap
seolah olah tidak pernah ingin mengabulkan permintaan Samantha.
“Sepertinya kau harus belajar lebih banyak, Samantha!” Ucap Dea kemudian.
“Apa maksudmu? Tanya Samantha sinis.
“Kau akan mengerti setelah kau merasakanya. Sayang sekali jika kisahmu
berakhir duka Samantha! Kau terlahir bahagia, kenapa tidak kau jadikan
hidupmu lebih bahagia Samantha?” ucap Dea sambil mondar mandir
mengelilingi Samantha yang tertegun kebingungan.
“Kebahagiaanku ketika dendamku terlampiaskan!” ucap Samantha tegas.
“Tapi kau tak berhak egois Samantha!” ucap Dea sedikit membentak.
“Kau tak pernah mengerti apa yang aku rasakan Dea!” ujar Samantha.
“Aku tahu. Baiklah jika itu maumu..!” ucap Samantha santai.
“Kau benar benar akan mengabulkan pintaku, Dea?” semangat sekali Samantha berujar.
Dea hanya tersenyum tipis. Begitu pula Samantha. Kini keduanya sama sama tenggelam dalam fikirannya masing masing.
Samantha mulai sibuk menyusun taktik pembunuhan yang akan dia
lakukan. Sementara Dea berfikir bahwa Samantha benar benar harus ia
miliki, apapun yang terjadi ia ingin Samantha menjadi bagian dari
hidupnya. Samantha gadis yang menarik. Ia bisa menjadi seorang ibu yang
penuh kasih sayang dan tegas andainya Ia tak mengalami nasib tragis itu.
Yah! Tapi apa mau dikata, takdir berkata lain. Dan ia harus sukarela
menjalani peran ini dalam episode hidupnya.
“Dea, aku ingin kau temani aku disini. Kau tahu aku sangat kesepian
disini. Aku merindukan kasih sayang, aku butuh teman agar aku bisa
melampiaskan semua isi hatiku. Aku masih sangat muda untuk menanggung
derita ini. Kau mau Dea?” akhirnya Samantha memecah keheningan yang
tercipta beberapa waktu terakhir.
“Kau bisa memanggilku kapan kau butuh Samantha. Panggilah namaku sampai
aku datang padamu. Tapi sekarang aku harus pergi Samantha. Istirahatlah!
Aku tahu kau amat lelah dengan semua ini” ujar Dea sembari beranjak
meninggalkan Samantha.
Samantha tak berkomentar apapun, ia membiarkan Dea menjauh hingga
akhirnya hilang di balik pintu. Samantha berharap Dea bisa membantunya.
Karena menurutnya Dea lah satu satunya makhluk ajaib yang pernah singgah
di hidupnya. Dan Ia yakin Dea akan banyak membantu melampiaskan
dendamnya.
Pagi itu seperti biasa Samantha menulis diary nya, ia menceritakan
segala keluh kesahnya pada buku usang itu. Ya! Semenjak Ia tinggal di
penjara bawah tanah itu ia jadi hobi menulis.
Seperti biasa pula pagi itu ia menunggu nenek memberinya makan. Jam demi
jam berlalu, namun ternyata yang ditunggu tak datang juga. Samantha
mulai merasa resah.
“Kreeekkk…” Terdengar suara pintu terbuka. Samantha refleks ke arah
pintu ia berharap melihat sang nenek tersenyum padanya dan memberinya
makanan seperti biasa. Namun ternyata yang muncul di balik pintu
bukanlah orang yang ia tunggu melainkan dua orang laki laki yang biasa
mengantar nenek menemuinya. Samantha kecewa bukan main, akhirnya ia
kembali terduduk lemas di pojok ruangan itu dan membiarkan mereka
mendekatinya.
“Mana nenek?” tanya Samantha ketika kedua laki laki itu sudah sangat dekat dengannya.
“Lu lapar bocah kecil, nih ambil!” ujar salah seorang laki laki itu sambil melemparkan makanan ke arah Samantha.
“Mana nenek?” tanya Samantha lagi dengan nada setengah membentak.
“Lu mau kita angkut mayatnya kesini hah?” ujar salah seorang dari mereka dengan nada setengah membentak.
“Maksud kalian apa?” kata kata Samantha mulai bergetar.
“Dia udah mati!” ucap laki laki itu sambil berlalu meninggalkan Samantha yang terkaget kaget.
“Apa? Mati? Tidak… Nenekkk…!!!” Samantha berteriak teriak seperti orang
kesetanan. Ia tak percaya akan secepat itu nenek meninggalkanya.
Samantha menangis tersedu sedu di pojok ruangan itu. Ia merasa hidupnya
semakin tidak berarti, ia merasa dirinya semakin malang.
“Dea… datanglah Dea..!! aku butuh kamu! Ayolah Dea…” Samantha berteriak teriak berharap Dea segera datang ke tempatnya.
“Aku disini Samantha…” tak lama kemudian Dea berada di tempat biasa ia muncul.
Samantha refleks menoleh ke belakang.
“Dea, ternyata kau datang. Ternyata kau tidak bohong!” ucap Samantha sambil menghambur ke pelukan Dea.
“Sudah diamlah Samantha! Kau tak perlu banyak menangis!” ucap Dea setengah membentak.
“Apa? Kau jahat Dea!! Kau tak pernah mau mengerti apa yang aku rasakan.
Nenek meninggal Dea, dan aku akan semakin kesepian!” ucap Samantha
terbata bata.
“Diam Samantha! Ku bilang kau tak usah banyak menangis. Kau tahu hidupmu
sangat terasisa di tempat ini. Lantas, kenapa kau diam saja? Kenapa kau
tak mencari cara untuk keluar dari tempat ini. Hey! Harusnya kau bisa
jadi anak yang cerdas.” ujar Dea sinis.
Samantha terdiam beberapa saat, ia merenungi kata kata yang keluar dari
mulut Dea. “Benar juga!” fikirnya, sembari mengedarkan pandangannya ke
seluruh tubuh berharap ada celah yang bisa ia lalui untuk keluar dari
tempat itu.
“Dea, kau bisa membantuku keluar dari sini?” Ucap Samantha kemudian.
“Oke! tapi kau lakukan atas usahamu sendiri.” Ucap Dea santai.
“Kau mau beri tahu cara agar aku bisa keluar dari sini, Dea?” tanya Samantha.
Dea menggeleng. Samantha terbelalak kaget melihat tingkah laku Dea. Ia benar benar merasa dipermainkan saat itu.
“Apa kau bilang, Dea? Lantas apa gunanya kau disini? Membantuku keluar
saja kau tak mau!” Samantha benar benar memaki Dea saat itu.
“Samantha, lalu apa gunanya akal tumpul mu itu! Untuk keluar dari sini
saja kau tak mampu apalagi untuk membalaskan dendammu pada mereka!
Pernahkah kau berfikir sejauh itu Samantha?” ujar Dea sembari berlalu
meninggalkan Samantha.
Samantha tertegun beberapa saat, dan tangisnya pun meledak kembali.
“Bodoh!! Bodoh!! Aku memang bodoh!!” Samantha memaki dirinya sendiri
dalam tangisnya. Ia merasa benar benar tak berguna saat itu. Rasanya ia
ingin mengakhiri hidupnya sampai disini saja.
Malam itu Samantha memutuskan untuk mencari cara agar bisa kabur. Ia
sudah sangat lelah mendekam di penjara bawah tanah itu. Samantha mulai
sibuk memperhatikan setiap detail ruangan, berharap ada celah yang bisa
ia gunakan untuk melarikan diri. Perlahan lahan Samantha mendekati daun
pintu, ia berusaha mendobraknya. Namun sayang, tubuh kurusnya tak cukup
kuat untuk melakukan itu. Sepertinya bukan solusi yang baik. Kali ini
Samantha enggan berputus asa, ia kembali mengedarkan pandangannya ke
segala arah. Samantha tersenyum puas ketika menatap satu satunya jendela
yang ada di ruangan itu, ia berharap bisa merusaknya. Samantha mulai
mendekati jendela itu, tapi Samantha lupa jendela itu di lapisi teralis
besi. Samantha tak mampu merusaknya. Samantha sangat kecewa, ia terus
menerus mengutuki kebodohannya sendiri.
“Benar kata Dea, untuk keluar dari sini saja kau tak bisa, lantas
bagaimana aku melampiaskan dendam pada mereka?” Keluh Samantha dalam
hati. Air matanya kembali berlinangan ia merasa sangat hilang arah. Ia
tak menemukan satu pun cara agar ia bisa keluar dari tempat itu.
“Oh Tuhan… Aku harus bagaimana lagi? Tolong Tuhan… Tolong aku… Dea, apa
kau masih mau membantuku? Ayolah Dea… bantu aku keluar dari sini…”
rintih Samantha dalam tangisnya.
Samantha tak henti hentinya memperhatikan seluruh detail ruangan itu,
hingga matanya tertuju pada meja tua yang mulai rusak. Samantha
tersenyum senang, perlahan namun pasti ia mendekati meja itu. Ia
memperhatikan setiap detailnya, Samantha tersenyum puas ketika melihat
salah satu bagian meja itu masih tertancap beberapa paku.
“Apa aku habisi saja si penjaga itu?” fikir Samantha dalam hati.
“Harus ku lakukan, atau aku mati konyol di ruangan ini!!” ucap Samantha
bersemangat. Samantha mulai memikirkan taktik untuk bisa merealisasikan
rencananya.
“Kalau nenek sudah tidak ada, berarti pria itulah yang akan mengantarkan
makanan untukku. Aku harus bisa memukulnya sesaat setelah ia membuka
pintu” Gumam Samantha. Dan ia tersenyum puas. Setelah memastikan tidak
ada yang harus ia lakukan lagi malam itu, ia memutuskan untuk
beristirahat sebelum melakukan aksinya esok hari.
Killery street, 28 Oktober 2012
Dear diary…
Aku akan membunuh lagi. Sama seperti aku membunuh satu bajingan itu
beberapa tahun yang lalu. Kau ingat betapa jahatnya aku, bukan? Dan aku
akan mengulangnya kembali. Aku harap semuanya akan baik baik saja.
Samantha,
Pagi ini adalah pagi yang di tunggu tunggu oleh Samantha. Ia sudah
tak sabar melancarkan aksinnya untuk segera keluar dari tempatnya. Usai
menulis diary, Samantha bergegas memasukan barang barang pribadinya ke
dalam tas usang yang pernah di berikan nenek beberapa waktu yang lalu.
Ia sudah merencanakan segala sesuatunya dengan maksimal.
“Oke! Selamat menjemput ajalmu!” ujar Samantha berapi api. Setelah di
rasa siap, ia bergegas ke arah pintu. Berharap yang di tunggu segera
datang, agar ia bisa segera menghabisinya.
Tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekati pintu.
“Sepertinya orang itu sudah bersiap kesini.” Gumam Samantha dalam hati.
Ia tersenyum puas, ia mulai bersiap mengangkat baloknya tinggi tinggi di
depan pintu.
Dan, “Brakkk…!!” Ketika pria incaranya masuk, Samantha langsung
menghantam kepala pria itu. Dan berhasil! Pukulanya yang lumayan keras
membuat si penjaga bersimbah darah dan hampir tak sadarkan diri. Tanpa
fikir panjang, Samantha langsung melemparkan balok kayunya dan segera
melarikan diri. Samantha menyusuri lorong kecil di setiap ruangan,
berharap menemukan pintu keluar agar ia bisa segera meninggalkan tempat
itu.
“Hai anak manis, mau kemana kau?” terdengar suara seseorang dari
belakangnya. Samantha refleks menoleh ke belakang. Samantha lupa ada dua
orang yang menjaganya di penjara bawah tanah itu, dan ia sadar hanya
melukai salah satunya saja. Dada Samantha bergemuruh kuat, ia mundur
beberapa langkah hingga tak sengaja tubuhnya menyentuh tombol rahasia
untuk membuka pintu. Samantha tersenyum, ketika menyadari dirinya
berhasil menemukan jalan keluar. Tanpa fikir panjang, Samantha segera
berlari keluar. Samantha terus berlari menyusuri hutan yang masih sangat
asing baginya, ia berharap bisa menemukan pemukiman penduduk agar bisa
menyelamatkan diri.
“Hai bocah kecil! Jangan harap kau bisa lepas dariku!!” Ujar si
penjaga seraya bergegas mengejar Samantha yang telah terlebih dahulu
berlari. Samantha tak menghiraukan gertakan si penjaga, dia terus
berlari dan berlari sekuat ia bisa.
“Brukkk…” kaki Samantha tersandung batang kayu, hingga tubuhnya
terhempas ke tanah. Samantha merasa kesakitan, kakinya sedikit terkilir.
Samantha panik, ia kesulitan untuk berdiri. Sementara sang penjaga
sudah berada dekat darinya.
“Hahaha!! Anak bodoh!” teriak sang penjaga sembari tertawa terbahak bahak.
“Apa mau mu!! Lepaskan aku!” Ujar Samantha sedikit menggertak.
”Kau fikir akan semudah itu aku melepaskanmu, hah!” Gertak sang penjaga.
“Ayolah, tolong lepaskan aku!! Tolong lepaskan aku!!” kali ini Samantha
memohon mohon sembari meneteskan beberapa butir air mata. Ia merasa
sudah tidak akan selamat lagi, terlebih setelah melihat sang penjaga
semakin dekat dengannya.
“Pulanglah dengan sukarela anak manis, sebelum aku benar benar melukaimu!” Ujar pria penjaga itu dengan nada mengancam.
Samantha menggeleng sembari mundur beberapa langkah, berusaha menjauhkan
dirinya dari pria itu. Dan tanpa sengaja tangannya menyentuh batang
kayu, Samantha tersenyum penuh kemenangan. Ia mengingat kejadian yang
baru saja ia alami. “Semoga aku bisa melakukan hal yang sama dengan
balok kayu ini.” Gumam Samantha dalam hati.
“Kemarilah kalau kau bisa!” Ujar Samantha dengan nada sedikit menantang.
Pria itu semakin naik darah melihat sikap Samantha yang menurutnya semakin berani dan kurang ajar, pria itu segera mendekatinya.
Samantha bersiap. Dan ketika jaraknya dirasa cukup dekat, Samantha
segera memukulkan balok kayu yang di pegangnya tepat di kepala pria itu.
“Argghhh… Anak sialannn!!!” pria itu menjerit sembari menahan sakit.
Sementara Samantha mulai mengumpulkan sisa tenaganya, ia segera bangkit
dan menjauh, berharap pria itu berhenti mengejarnya. Namun ternyata
dugaan Samantha salah, pria itu masih bisa bangkit dan mengejarnya.
Samantha panik, ia berusaha berlari lebih kencang lagi. Dan sial! Samantha menemui jalan buntu.
“Hahahaha…! mau pergi kemana kau anak manis?” ujar sang pria dengan wajah berseri seri.
Perlahan ia melangkah mendekati Samantha yang sudah sangat ketakutan.
“Kembalilah kesini anak manis!” ujar sang pria itu lagi sembari terus mendekati Samantha.
“Tidak… tidak… tolong lepaskan aku. Tolong biarkan aku bebas… tolong
aku” pinta Samantha sembari mundur beberapa langkah. Namun pria itu
enggan mendengarkan ucapan Samantha. Membuat Samantha semakin ketakutan,
ia terus mundur beberapa langkah hingga kakinya menyentuh bibir jurang.
“Ahhh tidakkk…!!!” Samantha berteriak ketika menyadari kakinya
tergelincir. Samantha berusaha menyeimbangkan tubuhnya, namun percuma.
Tubuhnya terhempas beberapa kali menghantam bebatuan yang keras, dan
terperosok sangat dalam ke jurang itu. Samantha pasrah.
Sementara pria yang mengejarnya terkejut melihat kejadian itu, ia segera
menepi ke bibir jurang dan dilihatnya tubuh Samantha sudah berada di
bagian paling bawah dengan tubuh terkoyak dan berlumuran darah.
“Ahh sial, mati tuh bocah!! Pasti dimarahin bos!” Ujar pria itu setengah
menggerutu, dan ia segera berlalu meninggalkan Samantha.
“Ohh Tuhan, tolong aku!” Rintih Samantha. Ia merasakan seluruh
tubuhnya bagai dihujam ribuan belati. Samantha berusaha bangkit, namun
sia sia. Darah segar tak henti keluar dari kepala dan hidungnya, ia
merasa sangat kesakitan.
“Dea, tolong bantu aku. Tolong selamatkan aku, sakit dan sesak sekali
rasanya.. tolong” rintihnya lagi. Samantha merasa pandangannya mulai
kabur, nafasnya semakin berat, dan detak jantungnya mulai melemah,
sebelum semuanya menjadi gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar